Tuesday, April 21, 2009

kartini masa depan dan masa kini

....
Premis-premis di atas tentu hanya simplifkasi dari kompleksnya realitas dan provokasi logika berpikir belaka. Tapi dari permainan logika diaduk fakta ini, kita bisa bercermin bahwa bangsa ini memang tidak konsisten dan kerap memperdagangkan jargon-jargon nasionalisme.

Padahal, di Jakarta sendiri nasionalisme sudah lama bangkrut dan tinggal jadi komoditi politik belaka.

Sejak menjadi presiden pada 1967, hingga turun tahta pada Mei 1998, sudah 30 kali Soeharto memimpin upacara kenegaraan 17 Agustus. Tapi setelah lengser, upacara 17 Agustus 1998 pun tak dihadirinya. Padahal, Sekretaris Negara selalu mengundang mantan presiden dan keluarganya.

Begitu pula dengan Presiden Gus Dur. Setelah turun tahta, Juli 2001, alih-alih datang ke Istana, pada 17 Agustus tahun itu, Gus Dur malah menggelar upacara tandingan di kediamannya di Ciganjur dan di sanalah lagu Garuda Pancasila dipelesetkan. Padahal, aktivis KontraS, Ori Rahman, pernah digebuki anggota Pemuda Panca Marga karena dianggap gagal ‘tes nasionalisme’ gara-gara tak hafal lagu Indonesia Raya.

BJ Habibie juga sama saja. Alih-alih ikut upacara 17 Agustus di jajaran bangku bekas presiden, sejak dipecat MPR pada 1999, dia bahkan tak tinggal di negaranya sendiri dan memilih hidup di Eropa dengan berbagai alasan.

Megawati juga setali tiga uang. Barangkali karena yang menjadi inspektur upacara (presiden) adalah bekas anak buahnya, ketua umum partai nasionalis itu tak pernah sekali pun menghadiri upacara 17 Agustus, baik tahun 2005, 2007, 2008, dan hampir pasti 2009 (kecuali barangkali menang pilpres).

Kita akan lihat, apakah setelah tak menjabat menjadi presiden, Susilo Bambang Yudhoyono masih akan ikut upacara 17 Agustus dan duduk di bangku undangan.

Tentu jawaban para bekas presiden dan pendukungnya bisa seperti ini: “Ah, nasionalisme kan tidak hanya diukur dari upacara bendera saja.”

Di masa pemberlakuan darurat militer di Aceh (2003-2005), orang bisa celaka hanya gara-gara tidak ikut upcara bendera karena dianggap tidak NKRI. Harga yang mahal harus mereka bayar untuk merayakan ‘nasionalisme’ simbol ala Jakarta ini.

Ada juga calon presiden yang menolak hasil amandemen UUD 1945 dengan alasan nasionalisme, sementara ketika konstitusi itu sedang dibahas antara 1999-2004, dia sedang sibuk berbisnis dan hidup di Timur Tengah (mungkin karena khawatir terimbas gerakan reformasi yang menuntut agar kasus HAM masa lalunya diusut). Kini dia kembali dan banyak menjejali publik dengan iklan kemandirian bangsa dan sentimen anti-asing.

Belajar dari catatan-catatan di atas, pemilih dalam pilpres nanti agaknya perlu jeli terhadap barang dagangan para tengkulak nasionalisme, yang hanya menjadikan gagasan luhur itu sebagai komoditi politik untuk meraih suara, sembari mendiskreditkan pihak lain dengan stigma sektarianisme.

Nasionalisme bukan monopoli jenderal (apalagi pensiunan) atau politisi sipil. Dan bukan pula monopoli jenis kelamin tertentu.

Selamat Hari Kartini (bagi yang merayakan)

No comments: