Tuesday, April 21, 2009

kartini masa depan dan masa kini

Kartini dan Tengkulak Nasionalisme

Oleh: Dandhy D Laksono ; deenda1@yahoo.com

Raden Ajeng Kartini di Jepara jangan-jangan tak mengenal Cut Nyak Dien sebaik dia mengenal Booij-Boissevain, Van Zeggelen, atau Estelle Zeehandellar; sahabat pena tempatnya bercerita tentang diskriminasi yang dialami perempuan Jawa.

Andaipun Kartini berkirim surat kepada Cut Nyak Dien, pastilah sulit berbalas. Sebab, saat putri ningrat ini baru menikmati dihapusnya tradisi pingit (1900) atas perintah Ratu Wilhemina, Cut Nyak Dien sudah menggantikan Teuku Umar, suaminya, memimpin gerilya di belantara Aceh. Dia bahkan sudah dua kali menjanda, jauh sebelum Kartini dipaksa kawin dengan Bupati Rembang.

Entah apa yang membuat Kartini tak menulis surat ke perempuan-perempuan pejuang di tanah air seperti halnya kepada nonik-nonik Belanda terdidik. Padahal, Pati Unus yang sama-sama asal Jepara pernah bertempur bersama kerajaan nusantara lain, menghadang Portugis di Malaka (1513).

Tapi sejarah Indonesia terlanjur mencatat surat-surat Kartini sebagai tonggak perjuangan emansipasi perempuan. Sejarah yang dibuat Jakarta, sepertinya enggan menoleh terlalu ke belakang, saat Laksamana Malahayati memimpin 2.000 pasukan Inong Balee mengacaukan barisan Frederic Houtman pada 1599 di pesisir Banda Aceh. Peristiwa ini terjadi 300 tahun sebelum Kartini berkeluh kesah tentang tertindasnya perempuan di Jawa.

Lalu di masa Indonesia ‘modern’ tahun 1999, (lagi-lagi di Jawa) orang meributkan boleh tidaknya seorang perempuan menjadi presiden, hanya karena ingin mengganjal Megawati Soekarnoputri. Sementara di Aceh abad ke-17, Ratu Safiatuddin sudah memerintah disusul Ratu Nur Alam Nakiatuddin, Inayat Zakiatuddin, dan Kumala Syah.

Itu belum termasuk 16 perempuan dari 73 orang yang duduk di Majelis Mahkamah Rakyat (parlemen) antara tahun 1641-1675, jauh sebelum para aktivis LSM di Jakarta menuntut kuota 30 persen keterwakilan perempuan di DPR dengan rujukan gerakan emansipasi yang ‘diimpor’ dan bukannya dari ‘produk lokal’.

Pemunculan ikon Kartini dan kampanye emansipasi di awal abad ke-20 sejatinya adalah buah dari strategi politik penyelamatan muka pemerintah Belanda kepada dunia internasional. Belanda yang sudah ratusan tahun mengkoloni nusantara, tak kunjung melahirkan perubahan dan modernitas.

Bandingkan dengan Inggris yang juga menjajah India namun sudah melahirkan tokoh-tokoh perempuan lokal seperti Pandita Ramabai yang go internasional. Maka selamatlah wajah politik kolonial Inggris dari tudingan penghisapan dan pembodohan negeri jajahan. Sementara reputasi Belanda di Indonesia hanya sebatas tengkulak pala, lada, kopi, dan gula.

Dan tak ketinggalan: budaya pergundikan atau nyai.

Karena itu tak heran jika JH Abendanon, mantan Direktur Departemen Pengajaran dari kubu liberal di Nederland, berinisiatif menerbitkan surat-surat Kartini pada 1911 dalam sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht, yang diterjemahkan secara literal menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Ikon Kartini lalu dirangkai dengan kebijakan Politik Etis (balas budi) dari Nederland kepada jajahannya, Hindia Belanda.

Tentu saja Kartini yang bergerak di bidang sastra, bukan pepesan kosong. Meski tak melakukan gerakan ‘konkret’ seperti Dewi Sartika yang membuka sekolah rakyat di Jawa Barat, pemikiran Kartini telah menjadi inspirasi gerakan perempuan di zamannya, hingga momentum Kongres Perempuan I, 22 Desember 1928. Dari situlah tanggal Hari Ibu ditetapkan, bukan adopsi dari perayaan Mother’s Day hasil impor.

Yang patut disayangkan, mengapa pemerintah hanya menggembar-gemborkan Hari Kartini setiap tanggal 21 April yang notabene diambil dari tanggal lahir satu tokoh pahlawan saja. Departemen Pendidikan dan para menterinya di masa Orde Baru tentu harus menjelaskan sebelum orang berpikir bahwa ini cuma politik jawa-centris –atau orang sudah berpikir demikian?— di masa Soeharto berkuasa.

Politik yang memodifikasi strategi kolonial Belanda di awal abad 20.

Padahal, biasanya pemerintah cenderung mempahlawankan mereka yang berjuang secara fisik, seperti Diponegoro, Hasanuddin, Imam Bonjol, Pattimura, Sudirman, Oerip Soemohardjo, atau Bung Tomo, dibandingkan misalnya Tirto Adhi Suryo (perintis pers).

Lantas mengapa ikon untuk pahlawan perempuan bukan laskar juga seperti Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutiah, atau Christina Martha Tiahahu?

Mengapa saat menyebut pahlawan perempuan, justru yang dimajukan adalah seorang sastrawan. Bukan seorang petarung di mandala.

Institusi TNI sendiri tak pernah memberi nama kodam-kodamnya dengan nama pahlawan perempuan, betapapun heroisme mereka mengalahkan kaum pria di masanya.

Alam berpikir patriarki tanpa kita sadar tumbuh membiak dalam benak kita.

Nasionalisme & Militerisme
Hal itu biasanya terjadi karena kita sering merancukan antara nasionalisme, patriotisme, dan kemiliteran. Tafsir atas nasionalisme selama Orde Baru memang dimonopoli militer dan diarahkan ke simbol-simbol aktivitas militer.

Rezim Soeharto, misalnya, tetap dianggap nasionalis karena menumpas separatisme di Aceh, Papua, dan Timor Timur demi NKRI, meski memberikan banyak sumur minyak dan konsesi pertambangan kepada perusahaan-perusahaan asing.

Begitu juga dengan pemerintahan Megawati Soekarnoputri yang 'teruji' ke-NKRI-annya karena memberlakukan Darurat Militer di Aceh untuk menumpas GAM, meski di saat yang sama, pemerintahannya melego Indosat, LNG Tangguh, atau mengekspor gas Arun ke luar negeri, di saat industri dalam negeri sedang kesulitan pasokan.

Nasionalisme Indonesia memang penuh paradoks. Dalam aspek sejarah saja, pemerintah menyembunyikan fakta bahwa sepanjang masa penjajahan, banyak anak bangsa yang justru mendukung Belanda. Di dinding Kerkhof di kota Banda Aceh, tertulis 2.200 nama serdadu Belanda yang tewas di medan laga. Tapi bila diperhatikan secara seksama, nama-nama itu tak hanya milik orang-orang bermata biru dan berambut jagung, seperti Wiederholt atau Wetering. Tapi juga nama-nama jawa seperti Soewadi, Raden Nembi, Kartopawiso, atau Lalawi.

Tentara KNIL (het Koninklijke Nederlandsche Indische Leger) yang dibawa Mayjen Kohler dari Batavia ke Aceh pada 1873 sejatinya memang terdiri dari orang-orang Jawa, Maluku, dan Sunda. Tapi di buku-buku pelajaran sekolah versi Depdibud atau Depdiknas, tak ada penerbit yang menyebut bahwa 82 persen tentara KNIL adalah bangsa kita sendiri yang sebagian besar bergabung karena motivasi ekonomi.

Demikian juga halnya dengan Divisi Marsosse (Marechaussee) yang terkenal kejam. Tak ada kurikulum pemerintah yang mengajarkan kepada murid SD bahwa gagasan pembentukan Marsose justru dari seorang pribumi bernama Muhammad Arif, putra Minang berprofesi jaksa yang bertugas di Aceh.

Kejujuran memang menyakitkan dan memalukan. Apalagi bila generasi muda kita tahu bahwa pada tahun 1929, serdadu KNIL yang mencapai 37.000 orang itu ternyata 45 persennya adalah orang Jawa. Disusul orang Belanda sendiri (18 persen), lalu Manado (15 persen) dan orang Ambon (12 persen).

Ketika untuk pertamakalinya KNIL dikirim ke Aceh pada 1873, Kohler membawa 15.100 prajurit pribumi, sedangkan prajurit Eropa hanya 11.500.

Itu semua tak ada di kurikulum sejarah versi pemerintah.

Namun bila ada buku pelajaran sejarah yang tak mencantumkan PKI sebagai dalang peristiwa 65, maka Kejaksaan Agung melarangnya, atau masyarakat dari kelompok tetentu, membakarnya.

Orang Indonesia sepertinya lebih malu disebut komunis, daripada disebut antek kolonial. Padahal, manuver kaum komunis, terjadi hanya dua kali saja: 1948 dan 1965. Dan mereka sudah membayarnya dengan mahal, termasuk anak cucu yang tak berdosa. Sementara Belanda telah membuat kesengsaraan selama 350 tahun dari Merauke hingga Sabang. Tapi tak ada keturunan KNIL yang KTP-nya diberi tanda: EK (eks KNIL).

Mantan KNIL bahkan menjadi presiden kita selama 32 tahun.

No comments: